Secercah Nasehat ‘Tuk Para Pemuda Sesi I
Para pembaca, semoga Allah ‘azza
wajalla selalu mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Tidak
diragukan lagi bahwa manusia yang memiliki fitrah yang suci pasti
mencita-citakan kebahagiaan dan ketentraman dalam kehidupannya, terkhusus pada
zaman sekarang yang penuh dengan fitnah. Sesuatu yang diharamkan Allah ‘azza
wajalla dianggap sebagai sesuatu yang halal, perbuatan yang melanggar
norma-norma agama dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar. Masyarakat pun bertambah
hari semakin jauh dari bimbingan Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam. Sungguh dalam kondisi seperti ini seorang hamba sangat
butuh dengan pertolongan Allah ‘azza wajalla.
Saudaraku seiman…
Merupakan fitrah yang telah Allah
jadikan pada diri manusia bahwa kaum lelaki memiliki ketertarikan (kecintaan)
kepada kaum wanita dan juga sebaliknya, Allah ‘azza wajalla dalam
Al-Qur’an menyatakan (artinya);
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada sesuatu yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
Allah ‘azza wajalla
memberitakan bahwa kecintaan kepada kenikmatan-kenikmatan dunia tersebut
ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah ‘azza wajalla
menyebutkan beberapa jenis kenikmatan dunia secara khusus, karena ia merupakan
ujian yang paling dahsyat, sedangkan yang selainnya mengikuti. Tatkala ia
ditampakkan indah dan menarik kepada manusia, kemudian disertai faktor lain
yang menghiasinya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati
mereka pun akan cenderung kepadanya. (Lihat Taisir Al Karimirrahman,
hal. 124)
Dengan demikian Allah ‘azza
wajalla telah menjadikan kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam
hati para lelaki dan tertarik ketika melihatnya.
Bahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menyatakan dalam sebuah haditsnya;
مَا تَرَكْتُ
بَعْدِي فِتْنَةً
هِيَ أَضَرُّ عَلىَ
الرِّجَالِ مِنَ
النِّسَاءِ
“Tidaklah
aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada
(fitnahnya) wanita.”
(HR. Al Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Akan tetapi Allah ‘azza wajalla
dengan hikmah-Nya memiliki syari’at yang mengatur hubungan keduanya (laki-laki
dan wanita). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda;
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَر وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ وَمَنْ
لمَ ْيَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai
para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu untuk menikah, hendaknya
bersegera menikah, karena yang demikian itu lebih menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu hendaknya dia bershaum (puasa)
karena itu adalah pemutus syahwatnya.” (HR. Al Bukhari no. 1905 dan Muslim no.
1400)
Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Alu Bassam hafizhahullah menjelaskan bahwa pengkhususan para pemuda
dalam hadits diatas karena kebanyakan yang memiliki syahwat kuat adalah para
pemuda, dibanding orang lanjut usia. (Taudhihul Ahkam hal. 214)
Adapun yang dimaksud dengan البَاءَةَ (kemampuan) disini adalah kemampuan
untuk menikah baik fisik, maupun harta, berupa pemberian mahar dan nafkah.
(Lihat Syarh Bulughul Maram Ibnu ‘Utsaimin)
Sungguh mulianya agama ini, dengan
bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam manusia termulia dan
paling bertaqwa yang senantiasa membimbing umatnya agar selamat dari makar
syaithan yang berupaya menjerumuskan anak manusia kepada kemaksiatan. Dengan
menikah, seseorang dapat meraih ketenangan jiwa serta melahirkan kasih sayang
antara laki-laki dan wanita dengan penuh keridhaan Ilahi.
DEFINISI
NIKAH
Asy Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah
menjelaskan bahwa nikah secara bahasa artinya berkumpul. Adapun secara
istilah syari’at adalah berkumpulnya antara laki-laki dan wanita yang
dibangun diatas aturan syari’at yang khusus, berupa akad nikah dan
syarat-syarat yang sudah diketahui bersama. (Syarh Bulughul Maram, Kitabun
Nikah hal. 419)
Nikah juga bisa diistilahkan dengan sebuah
ikatan (akad) antara seorang laki-laki dan wanita yang apabila terpenuhi segala
rukun dan syaratnya, maka halal bagi keduanya (untuk bersentuhan atau yang
selainnya) dari apa yang dibolehkan dan dihalalkan dalam ketentuan syari’at.
Adapun sebelum adanya akad, maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana yang
dijelaskan Asy Syaikh Abdullah Al Bukhari hafizhahullah.
DISYARI’ATKANNYA
NIKAH
Menikah, wahai saudaraku muslim
merupakan sunnah yang diajarkan dan ditekankan dalam agama ini. Bahkan, ketika
seseorang telah menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh dari agamanya.
(Lihat Ash Shahihah 2/199). Menikah juga merupakan sunnah para rasul ‘alaihimussalam
terdahulu. Allah ‘azza wajalla berfirman (artinya);
“Sungguh
Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka
istri-istri dan anak keturunan.” (Ar-Ra’d:
38)
Dalam ayat-Nya yang lain pula Allah ‘azza
wajalla memerintahkan para wali (orang tua/wali) untuk menikahkan
putra-putrinya yang telah mampu untuk menikah. Allah ‘azza wajalla
berfirman (artinya);
“Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kalian, dan orang-orang yang
layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya (budak) kalian yang lelaki dan
hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan
kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.”
(An-Nur: 32)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sebagai penyampai dan penjelas wahyu ilahi, telah menyampaikan dan
menjelaskan tentang sunnah (nikah) tersebut kepada umat ini. Suatu hari datang
3 (tiga) orang kepada istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan
bertanya tentang ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika
diberi kabar bagaimana ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
sepertinya mereka menganggap sedikit apa yang mereka amalkan. Maka diantara
mereka berkata, “Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.” Yang lain
berkata, “Aku akan puasa terus menerus dan tak akan berbuka.” Yang lainnya lagi
berkata, “Aku tak akan menikahi wanita.” Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam datang dan diberitahu tentang ucapan mereka ini, beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda;
أَنْتُمُ الَّذِينَ
قُلْتُمْ كَذَا
وَكَذَا، أَمَا
وَاللهِ إِنِّي
لأَخْشَاكُمْ ِللهِ
وَأَتْقَاكُمْ لَهُ
لَكِنِّي أَصُومُ
وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي
وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ
رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِيْ فَلَيْسَ
مِنِّيْ
“Kalian
yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling
takut kepada Allah ‘azza wajalla daripada kalian dan yang paling bertaqwa. Akan
tetapi aku sholat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi
wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan golonganku (bukan
berada diatas sunnahku dan jalanku).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
MANFAAT
PERNIKAHAN
Merupakan suatu yang mustahil jika
Allah ‘azza wajalla Yang Maha Pencipta, Pengatur dan Pemelihara alam
semesta ini dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
pengemban risalah agama ini memerintahkan sebuah amalan ibadah tanpa ada hikmah
dan tujuan. Tidak ada amalan ibadah yang diperintahkan dalam syari’at ini
melainkan dibalik itu mengandung manfaat yang besar, termasuk pernikahan.
Diantara hikmah dan manfaat pernikahan adalah kesempatan menjalankan perintah
Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam,
yang hakekatnya merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba di dunia dan di
akhirat. Selain itu akan terjalin kasih sayang antara suami dan istri yang
diridhoi oleh Allah ‘azza wajalla, sebagaimana firman-Nya (artinya);
“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian
istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kalian rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum:
21)
Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat diatas, “Maka dengan
adanya istri tersebut dapat diraih kenikmatan dan kelezatan dalam hidup,
diperoleh kemanfaatan yang besar berupa (lahirnya) anak-anak, adanya pendidikan
terhadap mereka, dan diperoleh juga ketenangan hidup bersamanya (istri). Maka
tidaklah engkau dapati pada diri seseorang secara umum seperti yang didapati
pada sepasang suami istri dalam hal kasih sayang.” (Taisir Al Karimirrahman hal.
639).
Islam telah menjadikan pernikahan
sebagai ibadah, sebab dengan pernikahan tersebut seseorang dapat menjaga
dirinya dari keburukan fitnah, membatasi pandangan dari hal-hal yang
diharamkan. Pernikahan juga dapat menjaga dan membentengi diri seseorang dari
syaithan yang selalu mengajak dan menjerumuskan anak adam ke dalam perbuatan
keji (zina).
(bersambung)
Komentar
Posting Komentar