Memilih Pemimpin Karena Agama, Masih Pantaskah?
Diantara
kaidah penting dalam ajaran Islam yang mulia ini adalah, menyerahkan urusan
yang berhubungan dengan kemaslahatan umum, seperti masalah politik dan
kemasyarakatan, kepada para ulama, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu yang
mendalam tentang agama. Adapun orang-orang bodoh maka tidak boleh berbicara.
Jika mereka berani berbicara dan berkomentar maka akan muncul
kerusakan-kerusakan dalam masyarakat.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya
Allah tidak mengangkat ilmu dengan mengangkatnya dari hati para hamba, akan
tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai ketika Allah
tidak menyisakan seorang ‘alim pun maka manusia mengangkat orang-orang bodoh
sebagai pemimpin-pemimpin mereka. Maka orang-orang bodoh tersebut ditanya, lalu
mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka pun sesat dan menyesatkan.” [HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyalllahu’anhuma]
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب و يكذب فيها الصادق و يؤتمن فيها الخائن و يخون فيها الأمين و ينطق فيها الرويبضة قيل : و ما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه يتكلم في أمر العامة
“Akan
datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, dimana pendusta
dipercaya dan orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah dan orang yang
amanah dikhianati, dan berbicara di zaman itu para Ruwaibidhoh.”
Ditanyakan, siapakahRuwaibidhoh itu? Beliau bersabda, “Orang bodoh
yang berbicara dalam masalah umum.”[HR.
Al-Hakim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Al-Jami’, no. 3650]
Demikianlah yang terjadi beberapa pekan terakhir ini dalam
menyikapi pemilihan pemimpin kafir untuk salah satu propinsi. Sampai seorang
oknum MUI angkat bicara,
“Jika memang sudah teruji adil, maka boleh memilih pemimpin yang
nonmuslim.”
Seorang mantan ketua umum Muhammadiyah juga tidak
mempermasalahkan isu SARA dalam pemilihan pemimpin, dengan alasan si pemimpin
tersebut tidak akan berlaku diskriminatif,
“Pemimpin di negeri ini baik di tingkat kelurahan, kecamatan,
kabupaten-kota, provinsi hingga presiden tidak akan berani melakukan
diskriminasi.”
Tak ketinggalan, pemimpin sebuah partai “Islam” pun berkomentar,
“Isu SARA jelas tidak berproduktif.”
Dan partai tersebut bahkan telah membuktikan beberapa tahun lalu
mendukung calon walikota nonmuslim, walaupun tidak berhasil memenangkan
pemilihan.
Sebagian orang pun beralasan asal tidak korupsi dan
alasan-alasan lainnya yang berhubungan dengan masalah “perut” masyarakat yang
harus dipenuhi maka tak masalah meskipun pemimpinnya nonmuslim. Alasan lain
kata mereka, isu SARA tidak mencerdaskan dan hanya mengkotak-kotakan, maka yang
mereka inginkan adalah tidak perlu membedakan pemimpin muslim maupun nonmuslim.
Jadi,
masih pantaskah memilih pemimpin karena agamanya?
Jawabannya tergantung dari sisi mana kita melihat, yaitu dari
dua sisi:
Pertama: Dari sisi demokrasi, benar bahwa demokrasi tidak mengharamkan
pemimpin nonmuslim, asal dipilih oleh rakyat maka seorang pencuri, perampok,
pembunuh, pezina dan orang kafir sekalipun, ‘layak’ dijadikan pemimpin.
Demokrasi itu sendiri adalah ajaran impor dari negeri-negeri kafir yang di
negeri mereka sendiri pemimpin muslim hampir mustahil terpilih. Dan membawa-bawa
Islam dalam dunia demokrasi dianggap tidak produktif, tidak mencerdaskan dan
hanya mengkotak-kotakan, kecuali dengan memaksakan Islam harus tunduk di bawah
demokrasi.
Kedua: Dari sisi ajaran Islam, ajaran yang turun dari sang Pencipta,
Pemberi rizki, Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia, yang lebih mengetahui
apa yang terbaik untuk mereka, maka hukum memilih pemimpin nonmuslim (baca: kafir) adalah haram
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta KESEPAKATAN seluruh ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” [Al-Maidah:
51]
Ulama
besar Syafi’iyah, Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Katsir Asy-Syafi’irahimahullah menjelaskan makna ayat ini,
ينهى تعالى عباده المؤمنين عن
موالاة اليهود والنصارى، الذين هم أعداء الإسلام وأهله، قاتلهم الله، ثم أخبر أن
بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك فقال: { وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ }
“Allah
ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari bersikap loyal kepada Yahudi
dan Nasrani, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.
Kemudian Allah ta’ala mengabarkan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Kemudian Allah ta’ala mengingatkan dengan keras dan
mengancam siapa yang loyal kepada mereka dengan firman-Nya, ‘Barangsiapa
di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang lalim’.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/132]
Juga firman Allah ta’ala,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
“Dan
Allah sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai
orang-orang yang beriman.” [An-Nisa: 141]
Ulama
besar Syafi’iyah yang lain, Al-Imam Al-‘Allamah An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
“Berkata Al-Qodhi
‘Iyadh, Ulama telah SEPAKAT (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak sah bagi seorang
kafir, dan jika seorang pemimpin muslim menjadi
kafir maka harus diselengserkan.” [Al-Minhaj
Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 12/229]
Al-Imam
Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
وأن يكون مسلما لأن الله تعالى يقول ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا والخلافة أعظم السبيل ولأمره تعالى بإصغار أهل الكتاب وأخذهم بأداء الجزية وقتل من لم يكن من أهل الكتاب حتى يسلموا
“Syarat
pemimpin haruslah seorang muslim, karena Allah ta’ala berfirman, ‘Dan
Allah sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai
orang-orang yang beriman.’ [An-Nisa: 141] Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya
jalan (untuk menguasai kaum muslimin). Dan (kepemimpinan kaum muslimin bagi
orang kafir tidak boleh) karena Allah ta’ala memerintahkan untuk menghinakan
Ahlul Kitab, memerintahkan mereka membayar jizyah dan memerangi orang kafir
selain Ahlul Kitab sampai mereka masuk Islam.” [Al-Fishol
fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 4/128]
Demikianlah perbedaan dua sisi pandang dalam menyikapi pemilihan
pemimpin nonmuslim, yang pertama adalah produk manusia yang hanya berdasarkan
hawa nafsu dan kemampuan akal yang sangat terbatas, sedang yang kedua berasal
dari sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Orang yang
berakal tentu mengerti dari sisi mana sebaiknya dia memandang.
Dan sang Pencipta, Allah jalla wa ‘ala menegaskan,
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran
itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang
yang ragu.” [Al-Baqorah: 147]
Allah ta’ala juga mengingatkan,
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
“Andaikan
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalamnya.” [Al-Mu'minun: 71]
Komentar
Posting Komentar