Geopolitik Negri Maju


Brian Hicks dan Chris Nelder mengatakan bahwa era puncak minyak sudah hampir habis di penghujung tahun 2005. Bisa dibayangkan, dalam kurun 40 tahun sejak minyak diproduksikan secara masif, dunia telah mengkonsumsi satu trilyun barel minyak. Tidak terasa, setengah cadangan minyak dunia sudah habis terpakai.
Masa kejayaan minyak di Indonesia malah lebih tragis. Tercatat dalam laporan BP Migas, penurunan produksi minyak Indonesia terus menurun sejak tahun 2002 hingga sekarang. Padahal sektor industri Indonesia sangat menggantungkan nasibnya terhadap energi fosil itu. Tak pelak lagi, proses industrialisasi Indonesia pun tersendat-sendat hingga akhirnya pemerintah melayangkan kebijakan mengimpor minyak. Sejak saat itulah Indonesia resmi mendapatkan julukan net importer dan neraca energi Indonesia selalu bernilai negatif.
Akankah hal ini akan dibiarkan terjadi, sementara Indonesia memiliki sumber energi alternatif lain yang banyak? Nusantara sangat beruntung karena secara geografis, terdiri dari negara kepulauan dan terletak di antara pertemuan tiga lempeng tektonik (Eurasia, Pasifik, dan Australia) sehingga banyak tanah yang subur akibat luapan lahar gunung api yang terbentuk. Kementrian ESDM telah mencatat bahwa gas alam, panas bumi, angin, matahari, air, dan uranium mendominasi di negeri ini dan sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber energi alternatif. Belum lagi dengan tanahnya yang subur, Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan sumber energi baru bio-fuel.
Dengan semakin tingginya rencana pemerintah untuk menumbuhkan ekonomi sebesar 7% di tahun 2014, maka sudah dapat dipastikan neraca energi masa depan Indonesia pasti akan ikut membesar. Namun demikian, pemerintah masih tampak kurang serius menanggulangi permasalahan neraca energi ini. Amandemen UU Migas yang tak kunjung beres, belum adanya payung hukum yang kuat untuk Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE), dan pemadaman listrik bergilir merupakan sederet masalah yang masih dipertanyakan kapan selesainya. Ibarat rumput yang tumbuh kembali karena akarnya masih tertinggal, begitulah analogi permasalahan energi Indonesia.
Kerap kali pemerintah masih menganakemaskan energi fosil sebagai pemasok energi dalam negeri dan penghasil devisa. Padahal sudah jelas bahwa negeri ini tidak bisa lagi berharap pada energi fosil itu. Jika tak mau menjadi negara yang terus berharap dengan persediaan minyak, pemerintah harus serius mengembangkan sumber energi alternatif untuk memenuhi neraca energi nasional masa depan.
Saat ini, negara raksasa Chindia (Cina dan India) merupakan pasar yang penting bagi perekonomian dunia. Kedua negara ini memiliki ambisi yang ekstrim untuk menggeser peran Amerika yang telah mendominasi pasar internasional sejak lama. Akibatnya, pasokan energi dunia pun terpusat pada negara-negara besar ini. Tak bisa dihindari lagi, kini geopolitik dunia terpusat pada pemenuhan dan penyimpanan energi untuk meningkatkan harkat negaranya. Disamping mengimpor minyak, tercatat kini Cina dan India telah mengembangkan pula salah satu energi alternatif terbesar yang mereka punya (coal bed methane) sebagai tambahan pasokan energi masa depannya.
Sejalan dengan itu, beberapa negara di benua Amerika, Australia dan Eropa kini juga telah menetapkan kebijakan untuk menghemat, menyimpan minyak, dan juga mengembangkan energi terbarukan sebagai pengganti minyak. Di Amerika Serikat misalnya, terdapat kebijakan pemerintah yang mengharuskan setengah dari kebutuhan energi di Negeri Paman Sam itu harus dipenuhi oleh energi terbarukan pada tahun 2025.
Di samping itu, negara ini pun juga menggiatkan impor minyaknya secara maksimal untuk cadangan energi masa depan. Di Benua Australia, pemerintah lewat Australian Energy Regulator (AER) telah menetapkan kebijakan memberikan insentif dan biaya rendah pada setiap produser energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan masa depan. Pun dibelahan benua Eropa, telah terbentuk juga kesepakatan Uni-Eropa terhadap peningkatan pemakaian energi terbarukan menjadi 20% dalam energi 2020 guna mempersiapkan bekal energi beberapa tahun yang akan datang.
Dari skenario pemenuhan energi berbagai negara tersebut, telah terlihat jelas bahwa hampir seluruh negara maju telah bersiap-siap menghadapi era krisis energi masa depan. Skenarionya selalu sama, yaitu mengimpor minyak sebanyak-banyaknya dan mengembangkan energi alternatif untuk mempertahankan kemajuan mereka. Jika hal ini tidak ditindaklanjuti oleh negara berkembang (termasuk Indonesia didalamnya), maka bisa jadi negara berkembang hanya akan menjadi negara korban di masa depan.
Negara berkembang akan terus berada pada ketertinggalan industrinya, terus-terusan bergantung pada negara-negara maju, dan malah mengimpor kebutuhan energi lewat negara maju. Hal inilah yang oleh Ha-Joon Chang istilahkan sebagai efek Kick Away the Ladder. Pakar ekonomi Korea ini berpendapat bahwa kebanyakan negara-negara maju menggunakan kekuatan ekonominya untuk mengintervensi kebijakan politik (termasuk didalamnya kebijakan geopolitik energi) untuk mendapatkan terus-menerus kekayaan dan melarang negara-negara berkembang untuk melakukan hal serupa.
Inilah satu-satunya alasan, mengapa Indonesia harus menggeser paradigma lamanya yang terlalu bergantung pada sumber energi fosil menuju paradigma baru yang fokus pada pengembangan energi alternatif, sebagai tahap untuk mencapai kemandirian energi nasional seperti negara-negara maju lainnya. Ini adalah sebuah harga mati, jika Indonesia tidak mau menjadi korban geopolitik internasional (lagi) di masa depan.

Komentar

Postingan Populer