“Kita Adalah Pemilik Sah Negeri Ini”
Kita Adalah Pemilik Sah Negeri Ini
Tidak ada lagi pilihan lain.
Kita harus Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran :
Tidak ada lagi pilihan lain.
Kita harus Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran :
“Duli Tuanku”?
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang ditepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara.
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus terus berjalan.
(Tirani, 1966)
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang ditepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara.
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus terus berjalan.
(Tirani, 1966)
Sastra dipandang
memiliki kekuatan sebagai bentuk hegemoni kekuasaan, bahkan sebaliknya, sastra
dianggap sebagai konter hegemoni. Kajian poskolonial berusaha membongkar seluk
beluk praktek kolonialisme dalam sebuah kekuasaan. Melalui karya sastra
seseorang dapat mengekpresikan emosionalnya dan melalui karya sastralah hal
tersebut dapat diungkapkan.
Puisi ini merupakan
puisi karangan Taufik Ismail. Taufik Ismail merupakan salah satu pujangga
periode 1960-1980. Lahir di Bukit tinggi, 25 Juni 1937 dan dibesarkan di
Pekalongan. Ia dikenal sebagai penyair yang menentang pemerintahan Orde Lama
dan ikut terlibat secara aktif dalam pergerakan mahasiswa dalam meruntuhkan
kekuasaan orde lama tahun 1966.
Puisi yang berjudul
“kita adalah pemilik sah negeri ini” mencoba merepresentasikan /kita/ adalah
rakyat yang memiliki ruang sebagai pemilik sah negara ini, yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penyair ingin menyampaikan kepada rakyat
Indonesia, agar menyadari apa yang dilakukan bertahun-tahun oleh penguasa
merupakan sebuah bentuk kolonisasi dalam bentuk ruang nasionalis, dengan cara
menjadikan hasil alam negeri ini sebagai pemilik segelincir penguasa. Sehingga
dengan leluasanya, para penguasa bebas melakukan apa saja. Termasuk mengekploitasi
hasil alam yang ada.
Bait pertama dengan
lantang penyair mangatakan, /tidak ada lagi pilihan lain/ kita harus /berjalan
terus/ karena berhenti atau mundur/ berarti hancur/. Disinilah penyair
menyatakan bahwa tidak ada alasan mundur untuk berjuang memperebutkan kembali
ruang kekuasaan yang dominasi oleh para penguasa. Jika mundur, maka ruang
tersebut itu akan hilang.
/Apakah akan kita jual
kayakinan kita/ dalam pengabdian tanpa harga/. Penyair mengingatkan bahwa
jangan sampai kita rela menjual idealisme dan rasa nasionalisme terhadap
penguasa yang tidak mementingkan kepentingan rakyatnya. Dan rakyat tidak boleh
terjebak dengan para /pembunuh/ pembunuh yang dimaksud adalah penguasa yang
otoriter, bertindak semaunya saja tanpa ada kompromi dengan rakyaknya, karna
dalam hal ini rakyat dianggap bodoh (Duli Tuanku). Dalam hal ini ruang yang
dimiliki oleh penguasa, menempatkan posisi pemimpin bebas melakukan apa saja
terhadap rakyat, sehingga bagi penguasa ruang tersebut tidak berhak di miliki
oleh rakyat.
Penyair kembali
mengulangi kata-kata /tidak ada lagi pilihan lain/ Kita harus/ berjalan terus/,
ini menandakan bahwa rakyat sudah lama menderita karena dijajah oleh pemimpin
bangsa sendiri. Penyair merasa bahwa sudah saatnya rakyat terbebas dari ruang
kekuasaan kolonial, baik kolonial Belanda maupun kolonial penguasa Negeri saat
itu. /yang di tepi jalan mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/
kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara/, rakyat adalah rakyat,
mereka bukan penguasa dan selalu tereliminasi dalam ruang sebuah bangsa. Rakyat
tidak pernah menikmati hasil pembangunan yang dibangun di dalam Negeri.
Sepertinya rakyat
tidak tahan dengan kondisi Negerinya yang selalu dilumuti oleh bencana seperti,
banjir, meletusnya gunung api, kutukan, hama diberbagai tanaman dan
tumbuh-tumbuhan. Penyair menyinggung terhadap status kemerdekaan Negera ini,
dalam hal ini juga bisa dikatakan bahwa, sama halnya penyair mempertanyakan
dimana ruang dan status nasionalisme para penguasa terhadap bangsa yang
dipimpinnya. Bahkan dalam kalimat /kita yang tak punya kepentingan dengan
seribu slogan/ /dan seribu pengeras suara yang hampa suara/, penyair menkritik
pidato-pidatonya pemimpin yang tidak berisi dan tidak bermanfaat untuk rakyat.
Pemimpin yang dimaksud oleh penyair adalah pemimpin masa orde lama yaitu
presiden Soekarno.
Di bait terakhir
penyair mengajak rakyat yang memiliki sikap nasionalisme agar tidak ragu-ragu
dan acuh tak acuh untuk melawan dan merebut kembali ruang kekuasaan yang di
pegang oleh pemimpin Negeri ini. Dapat disimpulkan bahwa ruang nasionalis
seorang penguasa negeri ini hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan
pribadi, keluarga dan para koleganya. Sehingga penyair mengajak rakyat untuk
melawan dan terus melawan agar ruang tersebut dapat direbut kembali.. (jow)
Komentar
Posting Komentar